***
“Aku bagaikan serpihan debu yang tak berarti, bertaburan diudara nun kotor olehku. Menganga, menunggu nasib yang akan menentukan hidupku. Dimana kuharus hinggap? Hingga tiada lagi angin yang mampu menghempasku lagi olehnya. Aku bak tersesat duhutan belantara, dimana cahaya yang akan menjemputku? Menghampiriku, dengan cinta dan kasihnya.”
Billah
***
Adzan Shubuh menggema, tubuh yang terhempas mulai terbangun. “Aktifitasku menunggu! Tuhanku menunggu! Shalatku menunggu!”. Billah, wanita berjilbab yang baik hatinya, santun tingkahnya, dan baik budi pekertinya. Ia Nampak tergesa-gesa pagi ini, pagi yang masih jarang orang untuk bagun. Tapi lain halnya dengan wanita ini, seorang putri yang masih belia. “Aku kesiangan pagi ini! Astaghfirullah.” Renungnya dalam hati.
Mentari mulai menyongsong pagi, Billah bergegas berangkat sekolah. Dengan penuh senyuman manis ia awali hari ini, “Nyaris saja aku terlambat berangkat sekolah!” Gumamnya setelah melewati pintu gerbang sekolah.
Sesampainya dikelas, semua murid asyik bercerita tentang liburan semester yang telah mereka lewati selama tiga minggu lamanya. Tak lama setelah bel masuk, datanglah seorang wanita paruh baya. Usianya sekitar 40 tahun, wanita itu mungkin seumuran dengan usia ibu Billah
“Perkenalkan nama ibu Astiana Dewita. Ibu adalah wali kelas sekaligus guru mata pelajaran matematika. Ibu harap, ibu dan kalian bisa menyesuaikan diri satu sata lain. Begitu juga dengan kalian, agar tercipta kelas yang nyaman , aman, dan harmonis. Dan ibu ucapkan selamat datang dikelas XIa.2!” Sambutan dari seorang wali kelas itu mengawali hari pertama dikelas itu.
Hari demi hari berlalu, minggu pun silih berganti. Lalu bulan pun bergulir perlahan, perjalanan disekolah harus tetap berlangsung. “Aku akan dapatkan peringkat pertama disekolah usai semester awal ini!” Tegas Billah dalam hatinya.
Semester awal telah ia selesaikan tanpa sedikit pun masalah. Billah telah buktikan janjinya, ia dapatkan peringkat pertama dikelas itu. Tugas selanjutnya adalah mempertahankan peringkat pertama hingga ia tamat sekolah. Tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk mempertahan sesuatu yang telah ada, butuh banyak pengorbanan.
***
“Harus kusadari, aku sungguh tak berguna tanpa cinta. Karna yang kubutuhkan adalah cinta. Bukanlah cinta yang semu, yang ku mau adalah cinta yang haqiqi. Cinta yang sejati dan maha suci, yang akan terus selalu bersamaku. Karena aku bagai debu yang mudah terhempas oleh bayu.”
Billah
***
“Akan ada acara disekolah ini! Tanding basket antar SMA! Besok acaranya! Itu berarti aku harus dispen lagi. Aku kan ikut tim cheers disekolah ini.” Kata Riza, sahabat terbaik Billah.
Billah mengerutkan dahinya, “Terus aku besok duduk sama siapa? Tega ah kamu! Selalu ninggalin sahabatmu ini!” Sontak wajah ayu itu berubah menjadi menyeramkan. Wajah itu nampak murung, Billah tak betah bila harus duduk sendiri dikelas.
“Tenang aja, setelah istirahat udah boleh nonton kok!” Kata Riza berusaha menenangkan sahabatnya.
“O.K! Mau apa lagi? Aku harus terima!” Gumam Billah. Beserta senyum yang selalu bersamanya. Senyum itu selalu besertanya, dan lesung yang selalu menghiasi keindahan wajah itu. Billah begitu menyejukkan dengan senyum indah dari wajah anggunnya.
***
I
“Kamu adalah yang terbaik, bagaikan air yang mendinginkan hati. Kamu bagai udara yang memberiku kehidupan. Teruslah seperti ini, teruslah menjadi yang terbaik. Kuharap kau sadari, bahwa kau yang terbaik.”
From : R
***
Sepucuk surat itu, kalimat penuh pujian. Bukan kalimat yang berlebihan, tapi sikap yang sedikit berlebihan dan tidak wajar. “butuh keahlian khusus untuk lakukan semua ini” Hanya itu yang terpikir oleh wanita yang terlalu polos seperti Billah.
Tapi tidak untuk seorang Riza, Ia adalah ketua tim cheers disekolahnya, dan ia Nampak marah. “Eh, apaan itu? Hah? Pasti psikopat!” Katanya sembari hendak merobek kertas itu.
“J.. Jangan! Biarin aja aku simpen surat ini!” Billah berteriak dan merebut kertas itu. “Biarin aku simpan surat ini! Aku suka tulisannya!” Lanjutnya lagi.
***
“Kenapa ini? Kenapa dengan hatiku? Sontak berdebar begitu kencang. Bagai kereta yang terus menderu. Ini yang pertama bagiku, maka ini yang luar biasa untukku.”
Billah
***
Hari ini pertandingan bola basket antar sekolah dimulai, awalnya Billah tidak mau menonton acara itu dan memilih untuk belajar dikelas. Tapi demi Riza sahabatnya, ia rela tinggalkan buku-buku yang menumpuk dimejanya.
Ketika sampai dilapangan basket, Billah melihat sahabat terbaiknya mengobrol dengan salah seorang pemain basket dari tim sekolahnya. Dia adalah senior mereka disekolah namanya Reno, seorang laki-laki yang baik dan rupawan. “Wajar aja Riza bisa dengan mudah ngobrol sama kakak kelas! Dia itu kan cantik, baik, ketua tim cheers lagi. Pasti banyak orang yang suka dengannya.” Gumam Billah perlahan.
“Haus? Ini minum, awas dehidrasi!” Seorang pria yang tampan menghampiri Billah dengan senyumnya yang begitu memesona banyak wanita disekolah itu. Ya, dia lah yang paling popular disekolah bergengs itu. Baik, manis, cool, dan tidak sedikit pun ia sombong. Bukan sombong, tapi lebih tepatnya jail.
“Oh ia, makasih ya… kak… ??”
“Reihan! Nama saya Reihan. Kelas XII IPS 1” Katanya sembari tersenyum tipis.
Billah mengerutkan dahinya,“Ia, kak … Reihan J” Ia tersenyum tipis kepada lelaki itu.
***
II
“Kau lihat itu? Hatiku telah untukmu! Ku beri sebagian hati ini perlahan untukmu. Dan hatiku seutuhnya milikmu! Bertahanlah demi keberanianku.”
From : R
***
“Surat lagi ya bil? Mending dibakar aja lah! Nggak penting banget sih yang bikin surat ini!” Gumam Riza kesal. Tak satu orang pun boleh menyakiti sahabat terbaiknya. Luar dan dalam harus tetap terjaga. Itu dasar persahabatan mereka.
“Aku nggak papa kok! Cuma ngerasa penasaran aja,” katanya perlahan. Wajah itu muram, Billah hanya bisa bergumam dalam hatinya ‘R’ .
***
Pagi ini langit tak begitu bersahabat dengan hari, Senin tanpa mentari. Senin tanpa kegiatan rutin, upacara bendera. Senin yang diselimuti mendung dan hujan yang tak henti. “Aku suka hujan! J” Gumam Billah.
Tapi ketika Billah sampai ruang kelasnya, tak seorang pun berada disitu. Mungkin karena semua murid malas berangkat pagi hari ini. Atau lebih tepatnya, Billah yang terlalu bersemangat pagi ini. “Yah! Payah banget si mereka ini! Masa jam segini belum pada berangkat sih!” Billah duduk dan meletakkan tas diatas mejanya.
Tak lama setelah Billah duduk dibangkunya, tiba-tiba datang seorang laki-laki keruangan bagai tak berpenghuni itu. “Akan kujadikan ini yang terakhir untukmu!” Gumam lelaki itu. Tak disangka ketika lelaki itu sampai didalam kelas, Billah melihat lelaki itu lengkap dengan surat yang dibawanya.
“Tubuhku bagai terpental nun jauh, nun dalam. Jantung ini serasa brhenti berdetak. Dimana denyut itu? Ampun! Semua telah terungkap! Mau tak mau aku harus ungkapkan semuanya.”
“Dia? Bukankah dia lelaki yang tempo hari itu? Seorang lelaki dengan penuh pesona, menghampiriku dan member sebotol minuman itu!” Pikir Billah dalam hatinya.
“Uhmm, saya … “ Terbata dalam kata, lelaki itu mencoba berbicara. Tapi secara tiba-tiba, datanglah seorang lelaki lagi kedalam ruangan itu. Seseorang yang sungguh tak diduga sebelumnya. Tak pernah terpikir dalam otak.
“Hai!” Kata seorang itu kepada wanita manis itu. “Uhmm, maukah kamu jadi pacarku?” Katanya sekali lagi. Tapi sayangnya lelaki itu terus memejamkan matanya, tanpa melihat orang yang ada dihadapannya.
“Uhmm, kak Reno? Dan kak Reihan! Sepucuk surat, dan serangkai kalimat!” Gumamnya perlahan.
“Kalo kamu diam, itu berarti jawabanmu ia!” Tegas lelaki itu sambil terus memejamkan matanya.
“Uhmm, saya Cuma mau ngasih surat ini, salah seorang temanmu ada yang tidak dapat datang. Tapi yasudahlah, biar nanti saja saya berikan kepada temanmu yang lain. Abaikan saja kedatangan saya pagi ini.” Kata Reihan sambil meninggalkan kelas dengan membawa sepucuk surat yang masih ada ditangannya.
***
“Dia pasti sudah terima Reno untuk jadi kekasihnya! Jadi untuk apa aku berikan surat ini lagi? Surat yang akan menjadi akhir kisah cintaku padanya.” Kata lelaki itu sambil berjalan meninggalkan kelas.
Wajah yang begitu murung, tapi Reihan hanya dapat bersabar sebelum lelaki itu mengungkapkan semuanya secara langsung. “Menyedihkan!” Gumamnya sembari membuang amplop yang berisikan surat itu.
Tapi siapa yang menyangka, sebuah tangan segera mengambil surat yang melayang dan nyaris menyentuh tangan. “Jangan! Jangan buang surat ini! Berikan surat ini padanya!” Kata Reno sambil memberikan surat itu kepada Reihan lagi.
“Bukan, surat ini bukan untuknya!” Reihan pergi tanpa menoleh sedikitpun kebelakang.
Tapi siapa sangka, Billah segera berlari untuk meraih pandangan Reihan yang berlalu dari tempat itu. “Biarkan aku membaca surat itu!” Katanya tegas. “Ijinkan aku membacanya! Sungguh kuingin tahu isi surat ketiga ini!” lanjutnya lagi.
“Tak perlu! Sudahlah, aku harus pergi kekelasku.” Reihan meninggalkan gadis itu dari tempatnya berdiri. Tapi siapa yang menyangka, surat itu terjatuh kelantai dan Billah segera meraih sepucuk surat yang tertinggal itu.
“Inikah surat terakhir untukku? Aw!” Billah membailkkan tubuhnya dan memastikan keberadaan Reno dibelakangnya. Setelah Reihan berlalu dan menghilang dibalik ruangan terujung dari sederet ruang kelas terjauh itu. Sepanjang puluhan meter, dan sejauh mata memandang. “Kemana kak Reno?” Gumamnya perlahan. Dari kejauhan, terdengar suara dua orang yang sedang mengobrol dibalik pintu ruang kelas itu.
Ketika sampai didalam kelas, terlihat Reno yang sedang mengajak Riza mengobrol. “Maaf ya Billah, saya tadi salah orang. Yang saya maksud itu Riza, dan sekarang saya dan Riza sudah resmi berpacaran” Katanya sembari tersenyum.
Billah tercengang dan bingung dengan keadaan saat itu. “Oh! Ia.” Katanya sambil meninggalkan ruangan itu.
***
“Maaf wahai lunaku, ini kali terakhirku ucapkan rasaku. Ini kali terakhirku menatap wajah ayumu secara langsung, biarkanlah aku mencintaimu dari kejauhan. Dan takkan ada kisah untuk kita, selamanya.”
From : R
***
Empat bulan kemudian…
Ketika acara perpisahan kelas dua belas, semua murid datang dengan rasa gembira. Sayangnya perpisahan tahun ini Billah tak berniat untuk hadir. Tak ada alasan untuk kedatangannya, disaat semua murid asyik berpoto dengan senior mereka, disaat semua murid asyik mendengarkan pidato dari kepala sekolah.
“Dia nggak datang Rei! Tadi saya Tanya sama Riza, sahabatnya. Saya harap kamu mau menjemputnya sekarang juga, dan ajaklah dia kemanapun yang kamu mau!” Kata Reno berusaha membujuk sahabatnya itu.
“Saya… nggak akan… nggak akan untuk tidak menjemputnya!” Reihan berlalu dan pergi entah kemana. Tak ada satu orang pun yang dapat menghentikan langkahnya. Ketua tim basket sekolah yang meninggalkan acara sekolah, tepat saat pemberian penghargaan bagi semua ketua ESKUL sekolah.
Tapi belum sempat Reihan keluar dari gedung perpisahan itu, tiba-tiba datanglah seorang wanita dihadapannya. “Kembalilah! Ambil piagam penghargaan itu!” Katanya tegas.
Reihan terbata dalam kata, ia berusaha berkata namun ia tak mampu. “I… Ia… J” Katanya sambil tersenyum. Dan ia pun berlalu menuju tempat dimana ia harus berdiri, dibarisan ketua ESKUL disekolah itu.
Dan setelah hari itu, semua berlangsung seperti sedia kala. Reihan mengejar cita-citanya, dan Billah pun tetap menjadi juara kelas. Semua berakhir dengan penuh kebahagiaan, penuh cinta dan kasih. Semua sesuai dengan yang diinginkan. Dan Riza, masih tetap bersama Reno kekasihnya.
***
“Inilah akhir kisahku. Cintaku, bersama cerahnya rembulan malam ini.”
Billah
***
Bisakah kau mendengar itu…
Hatiku…
Menunggu kau membukanya
Dapatkah kau mendengar itu…
Hatiku…
Ingin berkata bahwa aku mencintaimu…
Tapi ku tak mampu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar